Namun di sisi lain, pergeseran ke toko daring justru memunculkan risiko baru:
Belanja kompulsif (Oniomania) karena promo dan kemudahan klik.
Stres digital bagi kelompok yang belum melek teknologi.
Menurunnya interaksi sosial langsung yang berdampak pada rasa kesepian.
Fakta Lapangan: Banjir Impor dan Mal Lesu
Kementerian Perindustrian mencatat lonjakan impor tekstil hilir yang signifikan pada 2025 — membuat pasar domestik banjir produk murah luar negeri.
Kondisi ini memperburuk posisi pelaku UMKM lokal, terutama di sektor sandang.
Dewi Tenty, pakar perkoperasian, menilai praktik thrifting ilegal turut memperparah keadaan.
“Pakaian bekas impor ilegal adalah ancaman eksistensial bagi UMKM lokal. Ini bukan lagi soal tren, tapi soal kelangsungan ekonomi,” ujarnya.
Tantangan Pajak & Biaya Sewa
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menyebut mal kelas menengah paling terpukul.
Selain daya beli lemah, tingginya pajak, retribusi, dan biaya parkir membuat pengunjung enggan datang.
“Pemerintah daerah jangan serakah. Pajak tinggi, parkir mahal, masyarakat kapok ke mal,” katanya.
Ia menyarankan agar pemerintah menurunkan pajak sementara dan memberi keringanan sewa tenant, agar usaha bisa bertahan.
Solusi: Mal Harus Jadi Tempat “Ngerasa”, Bukan Sekadar Belanja
Ekonom senior Nailul Huda (Celios) menilai, perubahan perilaku pasca-pandemi adalah sinyal bagi mal untuk bertransformasi jadi ruang sosial, bukan sekadar tempat belanja.